REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyampaikan, efektivitas vaksin, testing, dan juga obat-obatan terhadap varian Omicron masih dikaji. Kendati demikian, berdasarkan bukti awal, varian ini menunjukan kemungkinan terjadinya peningkatan risiko tertular kembali pada orang-orang yang pernah mengalami Covid-19.
Namun, Wiku mengatakan, informasi terkait hal ini masih sangat terbatas dan masih dalam proses penelitian. “Masih dalam tahap pengkajian lebih lanjut,” ujar Wiku saat konferensi pers, Selasa (30/11).
Varian ini pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan, Hong Kong, dan Botswana pada November 2021. Hingga saat ini, beberapa negara telah mengkonfirmasi adanya kasus Omicron seperti di Italia, Jerman, Belanda, Inggris, Australia, Kanada, dan Israel. Dari 7 negara tersebut, 6 negara di antaranya saat ini tengah menunjukan kenaikan kasus.
“Bahkan Italia, Jerman, dan Belanda mengalami kenaikan kasus yang sangat tajam. Hanya Israel yang saat ini tren kasusnya belum menunjukan kenaikan,” kata dia.
Karena itu, sebagian besar negara di dunia saat ini mengambil langkah antisipasi untuk mencegah masuknya varian Omicron ini. Ketujuh negara yang telah melaporkan adanya varian Omicron telah mengambil langkah mitigasi.
Di Italia, pemerintahnya melakukan penelusuran kontak kasus positif dengan riwayat perjalanan ke negara-negara di Afrika, meningkatkan kapasitas penelusuran kontak secara umum, serta meningkatkan cakupan whole genome sequence agar segera mendeteksi keberadaan varian Omicron. Sementara Jerman memberlakukan pelarangan perjalanan dari negara di Afrika, kecuali warga negaranya. Warga negara yang baru pulang dari negara di Afrika juga wajib melakukan karantina selama 14 hari.
Belanda memberlakukan testing bagi seluruh pelaku perjalanan dari Afrika Selatan serta melakukan whole genome sequence pada semua pelaku perjalanan dari wilayah Afrika yang sudah masuk ke negaranya. Di Inggris, pemerintahnya melakukan isolasi dan testing ulang bagi pelaku perjalanan yang positif Omicron serta menutup pintu kedatangan bagi pelaku perjalanan dari negara di Afrika.
Inggris juga kembali memberlakukan wajib masker dan mewajibkan testing bagi pelaku perjalanan internasional. Sedangkan Australia memberlakukan karantina 14 hari bagi warga negaranya yang baru pulang dari 9 negara di Afrika, serta mengkaji kebijakan kedatangan untuk pekerja imigran dan pelajar internasional.
Di Kanada, pemerintahnya menutup kedatangan pelaku perjalanan dengan riwayat singgah di Afrika selama 14 hari terakhir. Dan bagi warga negara yang baru pulang dari negara di Afrika wajib dites dan dikarantina.
Israel memberlakukan daftar merah pada 50 negara di Afrika, bahkan melarang masuknya WNA dari semua negara. Selain itu, Israel juga memberlakukan karantina untuk seluruh warganya, melakukan tracing pada 800 pelaku perjalanan yang baru pulang dari negara di Afrika dan melakukan pengawasan negara melalui aplikasi telepon genggam.
Selain ketujuh negara tersebut, sejumlah negara lainnya juga memberlakukan kebijakan pengetatan. Seperti di Jepang yang melarang kedatangan seluruh WNA meskipun hingga saat ini belum ditemukan kasus Omicron di negara tersebut.
Sedangkan Taiwan yang sudah memberlakukan pembatasan border yang sangat ketat, tidak berencana mengubah kebijakannya terhadap adanya varian Omicron. Sementara di Singapura dan Malaysia yang sudah menutup negaranya hampir 2 tahun mulai memperbolehkan kedatangan WNA yang sudah divaksin lengkap.
“Meskipun demikian, kedua negara ini mempertimbangkan penutupan border (perbatasan) kembali setelah ditetapkannya varian Omicron sebagai varian of concern atau VOC oleh WHO,” kata Wiku.
Sementara, Kelompok Kerja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan, vaksinasi mampu mengurangi risiko keparahan pasien yang terjangkit Covid-19 varian Omicron. Menurut Ketua Pokja Genetik FKKMK UGM, dr Gunadi, pengakuan dari sejumlah dokter di Afrika Selatan yang terkonfirmasi terpapar Covid-19 varian Omicron mengindikasikan varian itu tidak menimbulkan gejala berat bagi penderita yang telah divaksin.
"Kalau kita melihat penjelasan dokter di Afrika Selatan itu kan tidak ada gejala batuk, tapi hanya pegal-pegal. Itu pun (diketahui terinfeksi Omicron) karena kebetulan mereka melakukan tes PCR," kata dr Gunadi, Selasa (30/11).
Meski belum bisa disamakan dengan varian Delta, menurut dia, varian itu juga memungkinkan menurunkan tingkat efikasi vaksin. Namun tidak sampai menimbulkan dampak keparahan tinggi hingga kematian bagi pasien yang telah tervaksinasi.
"Seperti saat Delta kemarin, vaksin masih cukup efektif meskipun turun efektivitasnya, tapi dalam mencegah keparahan dan mencegah kematian itu kan masih sangat efektif," kata dia.
Selain itu, cakupan penularan Omicron juga diperkirakan dapat dihambat dengan semakin luasnya cakupan vaksinasi di Tanah Air. Perkiraan itu, menurut Gunadi, berdasarkan laporan kasus penularan Omicron di Afrika Selatan yang lebih banyak menginfeksi warga berusia 18 sampai 34 tahun yang sebagian besar belum mendapat suntikan vaksin.
"Saya kira vaksinasi dan protokol kesehatan adalah dua perlindungan yang cukup. Jadi kalau mendapat kesempatan vaksinasi, saya harap harus diambil," ujar dia.
Meski demikian, varian itu patut diwaspadai karena memiliki mutasi sekitar 50 dengan 30 mutasi berada di spike protein S pada SARS-CoV-2. Fakta itu memungkinkan Omicron memiliki daya penularan lebih besar dibandingkan varian Delta yang hanya memiliki mutasi 23 dengan 38 di spike protein S.
"Tapi itu baru hipotesis yang masih perlu dibuktikan dengan riset yang lebih banyak," kata dia. Seperti varian Delta, kata dia, varian Omicron terbukti menginfeksi pasien yang sudah pernah terinfeksi Covid-19.
Efektivitas Vaksin Terhadap Omicron Masih Dikaji - Republika Online
Read More
No comments:
Post a Comment