Jakarta, CNBC Indonesia - Bitcoin terpantau masih cenderung stabil di kisaran harga US$ 20.000 pada perdagangan Rabu (22/6/2022), di mana investor masih khawatir dengan kondisi ekonomi global yang masih berpotensi memburuk.
Berdasarkan data dari CoinMarketCap pukul 16:40 WIB, Bitcoin merosot 4,85% ke posisi harga US$ 20.287,05/koin atau setara dengan Rp 301.668.434/koin (asumsi kurs Rp 14.870/US$).
Meski pada sore hari ini terpantau terkoreksi, tetapi Bitcoin sejatinya masih cenderung stabil di zona psikologis US$ 20.000. Dalam sepekan terakhir, Bitcoin sudah mulai menguat 0,24%. Tetapi sepanjang tahun ini, koreksi Bitcoin masih terbilang besar yakni mencapai 57,46%.
Adapun kapitalisasi pasar Bitcoin saat ini mencapai US$ 386,915 miliar. Sedangkan volume transaksinya dalam 24 jam terakhir mencapai US$ 28,25 miliar.
Sumber: CoinMarketCap
Bitcoin (BTC) |
Beberapa pengamat kripto mengatakan bahwa peluang Bitcoin menyentuh kisaran US$ 13.000 masih cukup besar. Hal ini akan terjadi selama kondisi makroekonomi global masih belum membaik.
"Kami masih akan menjual cryptocurrency dan kami belum akan memburunya kembali," kata Ian Harnett, pendiri dan kepala investasi Absolute Strategy Research, mengatakan kepada CNBC International Selasa kemarin.
Menjelaskan tren bearish, Harnett mengatakan bahwa pergerakan Bitcoin di masa lalu berpeluang terjadi kembali di tahun ini, di mana secara historis, reli Bitcoin yang cukup massif biasanya akan diikuti oleh tren penurunan sekitar 80% dari harga tertinggi sepanjang masanya.
Pada tahun 2018, misalnya, Bitcoin pernah anjlok mendekati US$ 3.000 setelah mencapai puncaknya hampir US$ 20.000 pada akhir 2017 silam.
"Penurunan seperti itu akan kembali terulang di tahun 2022, di mana Bitcoin masih berpotensi terkoreksi ke kisaran US$ 13.000, di mana kisaran harga tersebut menjadi zona support terendah di Bitcoin," ujar Harnett.
Pada November 2021, Bitcoin menyentuh all time high (ATH) untuk kedua kalinya di tahun 2021, di mana level ATH saat itu berada di kisaran US$ 67.000. Adapun ATH pertama di tahun 2021 terjadi pada April 2021, di kisaran US$ 63.000.
"Di dunia di mana likuiditas berlimpah, Bitcoin sejatinya masih berkinerja dengan baik. Tetapi saat likuiditas tidak lagi berlimpah, maka Anda melihat bahwa pasar berada di bawah tekanan ekstrem," tambah Harnett.
Dunia kripto seakan berada di ujung tanduk ketika investor bergulat dengan dampak suku bunga yang lebih tinggi pada aset yang sedang berkembang dari era kebijakan moneter yang sangat longgar.
Sebelumnya pada pekan lalu, bank sentral AS (The Federal Reserve/Fed) menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp).
Hal ini dilakukan oleh bank sentral Negeri Paman Sam untuk mendinginkan inflasi yang kembali melonjak pada bulan lalu, di mana inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) AS pada Mei lalu kembali melonjak menjadi 8,6%, lebih tinggi dari periode Maret lalu.
Dengan inflasi yang kembali melonjak dan The Fed yang semakin agresif menaikkan suku bunga acuannya, maka pasar kripto menjadi salah satu sektor yang paling terdampak dari dua indikator tersebut.
Bahkan, kapitalisasi pasar kripto secara keseluruhan anjlok lebih dari US$ 350 miliar dalam dua minggu terakhir. Bitcoin pun telah kehilangan kapitalisasi pasar hingga setengahnya.
Sejatinya, pasar kripto sudah membentuk tren bearish sejak awal tahun ini. Tetapi, penurunan pasar kripto justru diperparah oleh kabar buruk lainnya, mulai dari kejatuhan dua koin digital (token) besutan Terra yakni Terra Luna (LUNA) dan TerraUSD (UST) dan yang terakhir yakni krisis likuiditas yang menimpa perusahaan pinjaman kripto yakni Celsius Network.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Batal Kiamat, 1 Miliar Investor Kripto Diramal Bakal Kembali!
(chd/vap)
Jangan Kaget, Bitcoin Masih Bisa Ambruk ke US$ 13.000 - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment