Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyampaikan bahwa industri sawit saat ini masih berjalan dengan baik meski nilai pungutan ekspor (PE) atau levy terhadap crude palm oil (CPO) naik.
Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono meski besaran pungutan naik, kondisi tersebut masih lebih baik daripada aturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
“Sampai saat ini kondisi industri sawit masih berjalan dengan baik walaupun pungutan ekspor naik drastis. Kalau dihitung pungutan ekspor dan pajak-pajak sekitar 60 persen sendiri. Ekspor produk sawit masih berjalan,” ujar Eddy, Senin (18/4/2022).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas golongan HS 15 (lemak dan minyak hewani/nabati) menempati urutan ketiga terbesar di bulan Maret 2022 dengan nilai US$655,1 juta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga melihat pengaruh levy tidak terlalu signifikan. Pasalnya, karena levy pun volume produksi sedikit menurun.
Sebelumnya, pada 18 Maret 2022 Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan batas atas PE CPO dan produk turunannya yang semula US$1.000 per ton hingga harga CPO di atas US$1.500 per ton.
“Demand itu masih tetap tinggi, pengaruh levy tidak signifikan. Kalau harga pasar global tetap, tidak berubah, yang terjadi adalah marjin dari eksporter itu menurun, kalau mereka masih convenience margin segitu, ya tetap jalan,” ujar Sahat, Senin (18/4/2022).
GIMNI sebelumnya memproyeksikan ekspor CPO di 2022 sebesar 34 juta ton. Namun dengan adanya kenaikan levy ekspor terhadap HS 15 diperkirakan akan turun.
“Tadinya proyeksi kita di 2022 itu ekspor kira-kira 34 juta ton, karena levy mungkin sedikit dibawah itu saya kira, sekitar 31 juta-32 juta ton,” lanjut Sahat.
Berdasarkan data GIMNI, demand pasar global di 2021 sekitar 240,3 juta ton yang mana minyak sawit menguasai pasar sebesar 32 persen, diikuti soybean oil, rapeseed, dan sunflower.
Kembali lagi, bagi Eddy, satu hal yang jelas yaitu dengan adanya konflik Rusia-Ukraina menyebabkan produksi minyak bunga matahari terganggu, mengingat Ukraina menjadi produsen utama bahan tersebut. Demand yang tinggi terhadap salah satu bahan substitusi CPO tersebut membuat pengusaha mencari alternatif yang murah, yaitu CPO.
“Selama mereka tidak dapat memproduksi [minyak bunga matahari], maka supply minyak nabati berkurang, rasanya sulit harga akan turun secara signifikan,” ujar Eddy.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal turut menyatakan bahwa konflik tersebut bertanggung jawab terhadap kenaikan harga CPO.
Menurut Faisal, konflik yang terjadi berdampak secara tidak langsung dengan mempengaruhi barang komoditas substitusi CPO seperti kedelai, rapeseed, dan canola sehingga harga CPO menjadi lebih mahal.
“Dampak tidak langsung itu karena konflik ini mempengaruhi semua komoditas yang diproduksi kedua negara tersebut. Negara lain mencari sumber komoditas yang lebih murah sehingga beralih ke CPO,” pungkasnya.
Gapki: Satu Bulan Sejak Pungutan Ekspor Naik, Industri Sawit Masih Baik - Bisnis.com
Read More
No comments:
Post a Comment