Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham berhasil lolos dari tekanan pada Rabu (28/4/2021), meski rupiah dan obligasi terseret arus koreksi. Hari ini, satu hambatan terbesar berinvestasi di aset berisiko telah hilang berkat sinyal positif dari bank sentral Amerika Serikat (AS).
Bergerak bak roller coaster, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhenti di jalur hijau, meski gagal menyentuh level psikologis 6.000. Indeks acuan bursa tersebut kemarin ditutup naik 12,9 poin (+0,25%) ke 5.974,5.
Data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebutkan 241 saham menguat, 226 lainnya turun dan 169 sisanya cenderung stagnan. Nilai transaksi tercatat masih tipis, sebesar Rp 9,36 triliun dengan investor asing mencetak penjualan bersih (net sell) senilai Rp 308 miliar di pasar reguler.
Bursa Asia cenderung bergerak dengan variatif dengan reli indeks Hang Seng (Hong Kong), Nikkei (Jepang), dan Shanghai (China). Namun, indeks Strait Times (Singapura) terkoreksi tipis.
Pelaku pasar kemarin memilih bermain aman terlebih dahulu dengan mengurangi aktivitas trading di pasar saham sembari menanti arah kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed) yang diumumkan tadi malam.
Jika ada indikasi kecil bahwa bank sentral Negara Adidaya tersebut akan melakukan penghentian pembelian aset di pasar, atau dikenal dengan istilah tapering, maka pembalikan modal (capital outflow) berpeluang terjadi yang menekan bursa emerging market.
Inflasi di AS, yang telah mencapai angka 2,6% pada Maret kemarin, sejauh ini telah memicu kenaikan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun ke level 1,6%. Imbal hasil emerging market pun cenderung terpengaruh menyesuaikan, alias ikut menguat.
Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah kemarin. Mayoritas SBN acuan kembali dilepas oleh investor, ditandai dengan kenaikan yield-nya kecuali untuk SBN bertenor 1 dan 25 tahun yang masih dikoleksi oleh investor.
Yield SBN tenor 1 tahun berkode FR0061 turun 1,8 basis poin (bp) ke 3,818%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun seri FR0067 melemah 1,9 bp ke 7,544%. Yield SBN bertenor 10 tahun (FR0087) yang menjadi acuan obligasi negara kembali naik sebesar 4,6 bp ke 6,499%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan bahwa harga obligasi sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Di tengah situasi demikian, nilai tukar rupiah pun melemah terhadap dolar AS. Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.480/US$. Sempat melemah hingga 0,28%, Mata Uang Garuda berhasil memangkas pelemahan dan berada di Rp 14.495/US$ penutupan perdagangan, alias melemah 0,1%.
Nasib buruk itu tidak hanya menimpa rupiah, melainkan juga mayoritas mata uang utama Asia.
Newsletter Tenang Mamen! Hantu Tapering Masih Jauh Market - 43 menit yang lalu - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment