KOMPAS.com- Hoaks babi ngepet di Depok menyebabkan kehebohan masyarakat di Indonesia, bahkan menjadi perbincangan hangat di antara warganet di media sosial. Bagi sebagian besar masyarakat masih percaya pada hal tahyul seperti pesugihan babi ngepet.
Seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (29/4/2021), isu babi ngepet di Bedahan, Sawangan, Depok, Jawa Barat beberapa hari lalu, telah dipastikan sebagai rekayasa.
"Semua yang sudah viral tiga hari sebelumnya adalah hoaks, itu berita bohong," kata Kapolres Metro Depok Kombes Imran Edwin Siregar.
Imran menjelaskan, rekayasa dimulai ketika di permukiman tersebut, sejumlah warga mengeluh kehilangan uang sekitar Rp1 juta hingga Rp2 juta.
Penyebar isu hoaks babi ngepet itu adalah AL, yang kemudian memesan secara online seekor babi dari pencinta binatang yang dibeli seharga Rp900.000, dengan ongkos kirim Rp200.000.
Baca juga: 3 Jenis Babi Unik Asal Indonesia, Ada yang Dijuluki Babi Setan
"Tujuan mereka adalah supaya lebih terkenal di kampungnya, karena ini merupakan salah satu tokohlah sebenarnya, tapi disebut tokoh juga tidak terlalu terkenal, jadi supaya dia dianggap saja," ungkap Imran.
Tersangka Al lalu bekerja sama merekayasa penangkapan babi itu bersama delapan temannya. Cerita-cerita soal penangkapan babi ngepet secara telanjang bulat juga bohong.
Lantas, bagaimana masyarakat masih saja percaya pada cerita atau hoaks babi ngepet seperti yang terjadi di Depok?
Peneliti Sastra dan Budayawan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Dr. Sunu Wasono mengatakan bahwa kepercayaan terhadap keberadaan pesugihan babi ngepet masih ada pada sebagian masyarakat.
Baca juga: 7 Fakta AstraZeneca, dari Diisukan Mengandung Tripsin Babi hingga Efek Samping
"Kepercayaan itu agaknya sudah melekat atau mengakar," kata Sunu saat dihubungi Kompas.com, Kamis (29/4/2021).
Lebih lanjut Sunu mengatakan bahwa ada faktor ekonomi yang melatarbelakangi hal ini. Belitan ekonomi, kata dia, sering membuat orang berorientasi pada dunia gaib.
Ketika orang susah mencari solusi, mereka yang percaya pada kekuatan gaib terdorong untuk membangkitkan kembali mitos-mitos lama.
Terkait hoaks isu babi ngepet seperti yang terjadi di Depok, apakah cenderung banyak terjadi di pedesaan, Sunu menjelaskan bahwa pesugihan babi ngepet tidak sepopuler pesugihan tuyul di kalangan masyarakat pedesaan.
Baca juga: Ahli China Temukan Mutasi Alami dari Virus Demam Babi Afrika
"Hal-hal seperti ini (hoaks babi ngepet) justru kurang populer di desa. Di kampung (isu) pesugihan tuyul jauh lebih populer," imbuh Sunu.
Kebiasaan mengistimewakan hewan
Lantas, bagaimana awalnya cerita pesugihan babi ngepet ini muncul dan kenapa masyarakat sekarang masih percaya?
Menanggapi hal ini, Sunu menjelaskan bahwa sangat sulit untuk menelusuri bagaimana awalnya babi ngepet muncul sebagai sarana pesugihan.
"Ini kan, produk budaya lisan yang lekat dengan istilah 'konon', 'katanya', kata siapa (itu) susah ditelusur. Sesuatu kalau sudah menjadi cerita akan menyebar begitu saja lewat mulut ke mulut," jelas Sunu.
Baca juga: Benarkah Vaksin AstraZeneca Mengandung Tripsin Babi? Ketahui Proses Produksinya
Masyarakat kita, kata Sunu, cenderung mengeramatkan atau mengistimewakan hewan. Sebut saja, kebo bule yang dikeramatkan di Keraton Surakarta, yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Kendati demikian, tak dipungkiri bahwa kepercayaan-kepercayaan semacam ini tidak lagi relevan di masa kini.
Namun, menurut Sunu, sangat sulit untuk mengeliminasi suatu kepercayaan yang sudah ada di masyarakat.
Lebih lanjut Sunu mengatakan bahwa saat fenomena seperti babi ngepet di Depok, misalnya, dan sejenisnya diangkat ke dalam karya seni, seperti film, maka keyakinan atau kepercayaan itu seperti mendapat penguatan.
Baca juga: Elon Musk Tanam Chip di Otak Babi, Ini Tujuannya
"Orang lupa bahwa film itu 'hanya' karya imajinatif. Hanya rekaan. Moral atau pesan yang diusung justru menepi. Posisi tengahnya justru kepercayaan itu. Maka langgenglah kepercayaan itu," ungkap Sunu.
Apabila bukan dari seni film yang memperkuat kepercayaan itu, maka pemicunya bisa berasal dari sisi ekonomi.
Sunu menjelaskan kondisi ekonomi yang tidak menentu, kepercayaan yang terpendam itu naik lagi ke permukaan. Banyak kasus-kasus seperti itu yang pada akhirnya selalu ada motif ekonomi sebagai pemicunya.
"Oleh sebab itu, masyarakat harus rasional, jangan hanya irasional yang dipupuk. Jika masyarakat rasional dan kritis, maka tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan apapun," papar Sunu, mengimbau masyarakat agar tidak percaya pada pesugihan seperti babi ngepet.
Baca juga: Apa Fungsi Tripsin Babi yang Disebut MUI Ada di Vaksin AstraZeneca?
Hoaks Babi Ngepet di Depok, Kenapa Masyarakat Masih Percaya? - Kompas.com - KOMPAS.com
Read More
No comments:
Post a Comment