Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan pengendalian harga minyak goreng di dalam negeri sudah digulirkan pemerintah sepanjang tahun ini. Sejak 22 April 2022, pemerintah bahkan sampai harus melarang ekspor minyak sawit mentah. Hasilnya, harga jual minyak goreng masih tinggi saat ini.
Menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga rata-rata minyak goreng curah per Rabu (11/5/2022) adalah Rp 19.100 per kilogram. Untuk harga minyak goreng kemasan bermerek 2 harga rata-ratanya Rp 25.950 per kg.
Sebelum adanya pelarangan ekspor kelapa sawit dan turunannya, untuk meningkatkan pasokan minyak goreng di tanah air pemerintah menyiasatinya melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Dengan ketentuan DMO 30% untuk CPO dan olein, dengan mematok harga DMO Rp 9.300 per kilogram (kg) untuk CPO dan Rp 10.300 per kg untuk olein. Lewat cara ini produsen minyak goreng diharapkan bisa mendapatkan jaminan bahan baku dengan harga yang lebih murah dari harga internasional.
Ekonom Senior Faisal Basri menilai, ketetapan DMO untuk CPO dan turunannya di tanah air sebaiknya harganya sama rata.
"Untuk minyak goreng itu tidak boleh ada dua harga. Yang biang keladinya (harga minyak goreng mahal) karena uda harga. Misalnya, kalau jual CPO ke pabrik biodiesel misalnya saya dapat Rp 100 dan kalau saya jual untuk minyak goreng hanya Rp 70," jelas Faisal Basri kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (12/5/2022).
Adanya perbandingan harga DMO CPO dan turunannya itu, yang menurut Faisal tak ada pengusaha yang menjual untuk minyak goreng, karena harganya berbeda.
"Kenapa pemerintah menciptakan dua harga. Yang dicari solusinya macem-macem gak ada. Padahal solusinya satu harga," jelas Faisal.
Ke depan, tekanan terhadap permintaan sawit akan terus meningkat. Bukan hanya untuk pangan, melainkan juga energi (biodiesel 30/B30). Karena itu, dari sisi suplai, perlu ada peningkatan produktivitas petani sawit.
Sementara dari sisi demand, kerap kali gejolak harga internasional berimbas pada keseimbangan permintaan domestik yang berimplikasi pada perubahan harga. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme untuk mengatur volume ekspor agar pasokan domestik tetap stabil.
"Jadi, semakin tinggi harga d luar negeri, kita kenakan pajak ekspor. Tingkatkanlah pajak ekspor, itu akan menurunkan harga di dalam negeri," tutur Faisal.
"Sehingga harga di dalam negeri otomatis, ini tidak perlu ahli nujum atau ekonom canggih. Cara membuat harga (minyak goreng) di dalam negeri lebih murah daripada harga dari luar negeri adalah dengan mengenakan pajak ekspor," kata Faisal melanjutkan.
Masalahnya, larangan ekspor merupakan kebijakan keliru, walaupun pasokan CPO di dalam negeri berlimpah, namun kerugiannya akan lebih besar ketimbang manfaatnya.
Kebijakan larangan ekspor CPO jauh dari kata efektif untuk menekan harga minyak goreng di dalam negeri, justru merugikan petani sawit, pelaku industri sawit, dan perekonomian Indonesia.
Adapun harga tandan buah segar petani anjlok 30-60% setelah Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng pada Jumat (22/4/2022). Sejumlah pabrik kelapa sawit dilaporkan menetapkan harga secara sepihak.
Petani sawit salah satu pihak yang paling lemah posisi tawarnya. Sehingga, saat harga CPO turun, tandan buah segar petani cepat turun dan persentase penurunan melebihi harga CPO. Namun, ketika harga CPO naik, harga tandan buah segar di tingkat petani lambat menyesuaikan.
Dengan kondisi itu, dalam kebijakan larangan CPO, yang menjadi korban pertama adalah petani sawit.
"Syarat untuk tidak menyengsarakan rakyat itu, kembali ke minyak goreng, CPO diproduksi 60% perusahaan besar dan kecil, sementara 40% oleh petani. [...] Jadi, apa yang dilakukan pemerintah berpihaklah pada rakyat, jangan sampai tersungkur jadi miskin," jelas Faisal.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Ada Fenomena Migor Ludes di Minimarket, Bos Ritel Buka Suara!
(cap/mij)
Harga Minyak Goreng Masih Mahal, Faisal Basri Tawarkan Ini - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment