TIAP September hingga Oktober energi bangsa ini selalu terkuras dengan persoalan lama yang tidak ada habisnya. Seakan seperti menjadi proyek abadi. Luka lama dikuak kembali.
Pernyataan-pernyataan pembangkit emosi diletupkan. Narasi-narasi minor seperti pemberontakkan, pengkhianatan, gerakan 1 Oktober atau Gestok misalnya, selalu diumbar.
Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya, pembakaran aksesori seperti bendera dan logo palu arit kerap terjadi. Ini lucu. Simbol-simbol itu mereka yang buat dan mereka juga yang membakarnya.
Bersyukurnya, aksi-aksi pembakaran kini telah hilang. Tetapi suara-suara soal penyusupan bahaya komunis masih terus terjadi.
Terakhir Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyebut, aksi penyusupan bahaya komunis telah terjadi di tubuh TNI-AD. Tidak tanggung-tanggung, malah masuk ke “jantungnya” TNI AD. Tepatnya di Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Tudingan Gatot bersumber dari potongan video yang memperlihatkan hilangnya diorama penumpasan G30S/PKI serta patung tokoh-tokoh yang terlibat dalam penumpasan PKI seperti Soeharto, Abdul Haris Nasution, dan Sarwo Edhi Wibowo di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad, Jakarta.
Gatot melontarkan sinyalemen ini saat menjadi narasumber di webinar Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, Minggu, 26/9/2021).
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Semula kolega di Universitas Padjadjaran mengajak saya untuk ikut webinar ini. Begitu melihat para pembicaranya, saya memutuskan tidak ikut. Mudah ditebak ke mana arah mana pembicaraan webinar ini berlangsung.
Bagaimana mungkin pensiunan bintang empat bisa menyimpulkan adanya penyusupan komunis di tubuh TNI-AD hanya berdasarkan informasi sumir dan perkara patung? Kalau hanya sekedar warning tentang bahaya komunisme boleh-boleh saja.
Andai ayah saya masih hidup, ia yang hanya berpangkat sersan mayor TNI AD pasti akan mencari informasi akurat sebelum mengambil kesimpulan.
Saya yakin ayah saya yang terlibat dalam operasi Trisula yaitu penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar Selatan, Jawa Timur, tidak akan bisa terima kesimpulan ini.
Atau, andai kakak saya yang berpangkat kapten TNI-AD masih ada, dia pasti juga tidak mudah percaya begitu saja tentang patung yang dikaitkan dengan komunis. Mendiang kakak saya ini terlibat dalam operasi Seroja di Timor-Timur.
Saya yakin seyakin-yakinnya, ayah dan kakak saya yang berbeda pandangan dengan Jenderal Gatot Nurmantyo.
Belajar dari Om Herman
Peristiwa 1965 masih meninggalkan luka sejarah yang menganga hingga saat ini. Di era Orde Baru Soeharto sejarah selalu ditafsirkan oleh pihak yang menang.
Sejak kecil saya yang tumbuh dalam keluarga tentara selalu dicekoki dengan “kedigjayaan” tentara. Soeharto bagi ayah saya adalah hero. Bisa makan dan sekolah adalah bukti kedermawanan Orde Baru.
Padahal, saya masih ingat ayah saya kerap menunggak pembayaran uang sekolah saya dan kakak-kakak saya selama berbulan-bulan.
Menu makanan pun hanya itu-itu saja. Bagi saya dan kakak-kakak saya, lauk tempe adalah sumber penyakit darah tinggi.
Sementara bagi orang tua saya, tempe sangat menyehatkan untuk menutupi ketidakmampuan membeli daging ayam.
Saya dan kakak-kakak saya pun protes. Tempe lagi, tempe lagi setiap hari tersaji di meja makan dengan sambal. Apa tidak darah tinggi yang kumat.
Setiap September, sejak SD hingga SMA, saya selalu "digiring" para guru untuk menonton film Pengkhianatan G30S PKI. Tak lupa diabsen agar tidak ada yang bolos menonton film itu.
Apa yang saya lakukan bersama teman-teman saat menyaksikan film ini adalah tidur atau berusaha keluar dari gedung bioskop lebih awal dengan alasan tidak enak badan karena bosan berkali-kali melihat kekerasan dalam film tersebut.
Dari Om Herman, tetangga depan rumah di perkampungan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, saya mulai belajar mengenai PKI dan Soekarno.
Om Herman ini dulunya pernah menjadi prajurit TNI-AU. Karena dianggap terlibat G30S PKI dia ditahan tanpa proses peradilan serta dipecat tanpa pensiun dari TNI-AU.
Ayah saya begitu mewanti-wanti agar jangan bergaul dengan keluarga Om Herman karena bahaya.
Walau saya masih SD, keingintahuan saya begitu membuncah. Saat ayah kerja menjadi petugas pengamanan pergudangan di Cakung, Jakarta, saya kerap bermain di rumah Om Herman.
Darinya, saya banyak mendapat kisah soal PKI. Termasuk saya mendapat pinjaman buku karya Cindy Adams yang berjudul Penyambung Lidah Rakyat.
Buku ini saya tuntaskan di kelas 5 SD tanpa sepengetahuan ayah. Saya membaca di temaram lampu teplok karena listrik genset perkampungan mati sejak pukul 24.00.
Mengenaskan nasib Om Herman. Dulu ia perwira TNI AU yang terpandang. Stigam PKI membuat hidupnya terbuang.
Ia tidak bisa bekerja di instansi pemerintah dan swasta karena kartu tanda penduduknya diberi tanda: eks tapol (tahanan politik).
Ia hidup miskin di perkampungan Halim. Kalau yang terakhir ini, nasibnya sama dengan kami yang tidak dituduh PKI.
Masa-masa kuliah
Kehidupan kampus selama berkuliah di Universitas Indonesia (UI) baik di Salemba maupun Depok membuat saya mulai belajar arti bersikap kritis. Banyak dosen saya mengajarkan untuk selalu terbuka dengan pemikiran lain.
Masa kuliah yang begitu lama di paruh 1986 hingga 1992 karena berkuliah di dua fakultas program S-1 membuat bacaan saya begitu banyak.
Dari Mantan Rektor UI periode 1973–1982 Prof Mahar Mardjono, saya mendapat informasi soal pemeriksaan jenazah para pahlawan revolusi yang ternyata tidak sekejam yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S PKI.
Mahar merupakan anggota tim dokter kepresidenan di era Soekarno dan Soeharto. Ia menjadi dokter forensik yang memeriksa jenazah para pahlawan revolusi.
Yang lebih unik lagi, buku-buku karangan Pramodya Ananta Toer yang diharamkam di zaman Soeharto, bisa saya dapatkan secara sembunyi-sembunyi di perpustakaan pojok Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Buku-buku Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, misalnya, saya baca bolak-bolak. Saya mencari ajakan memusuhi Tuhan yang dijadikan alasan buku itu dilarang beredar. Tidak saya temukan.
Saya begitu heran kenapa buku ini dilarang. Isinya begitu menarik dan sarat dengan konteks sosial dan budaya.
Belajarlah dari Himawan Soetanto
Saat mengikuti ujian saringan masuk Pascasarjana UI tahun 2001 di Balairung UI Depok, saya kaget saat bertemu dengan Letjen (Purn) Himawan Soetanto yang saat itu sudah berusia 72 tahun.
Sebagai mantan Kepala Staf Umum ABRI (1984) serta Mantan Panglima Kostrad (1974-1975), keinginannya untuk kuliah patut diacungi jempol di usia senja.
Di saat banyak pensiunan jenderal sibuk sebagai komisaris atau anggota DPR, pelaku sejarah palagan 10 November 1945 ini malah ingin menjadi mahasiswa.
Saat saya bertanya alasan kenapa Mantan Pangdam Siliwangi (1975–1978) ini masih mau kuliah pascasarjana, dengan riang dan penuh canda ia menjawab ingin memberi semangat ke cucu dan cicitnya kalau kakeknya masih sanggup belajar.
Secara serius, Himawan yang saat itu dikenal aktif menulis opini dan kisah sejarah di berbagai media itu mengungkapkan keinginannya untuk menulis pengalamannya di berbagai epos sejarah dengan rujukan dan panduan ilmiah.
Andai saja Gatot Nurmantyo mencontoh semangat seniornya Himawan Soetanto dalam menuntut ilmu, pasti tidak akan gegabah mengeluarkan pernyataan yang tidak ada pijakan ilmiahnya.
Bantahan dari pernyataan Gatot terus bermunculan. Yang sangat telak tentu saja pernyataan pemrakarsa pembuatan patung tiga jenderal di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad, Jakarta Letjen (Purn) Azmyn Yusri Nasution.
Selain menyebut tudingan Gatot Nurmantyo soal penyusupan komunis ke tubuh TNI terlalu dangkal, mantan Pangkostrad ini mengakui pembongkaran tiga patung tersebut karena alasan keyakinan dalam ajaran Islam yang melarang pembuatan dan menyimpan patung
Sejarah Peristiwa 1965
Peristiwa 1965 tidak saja mengakhiri era kekuasaan Soekarno tetapi juga dimulainya dominasi kekuasaan militer melalui Soeharto. Tuduhan PKI sebagai dalang pelaku peristiswa 1965 menjadi aras utama sejarah kita.
Saya selalu mengingat perbincangan intens dengan Mashuri Saleh, Menteri Penerangan (1973–1977) pada1995–1996.
Dia mengaku begitu kecewa dengan jalannya sejarah yang selalu dibengkokkan. Di rumah kunonya di dekat bundaran Jalan Agus Salim, Menteng, Jakarta, dia kerap cerita kalau di bangku kayu jati di ruang tamu rumah itulah skenario awal Orde Baru dirancang Soeharto.
Rumah Soeharto sebelum menetap di Jalan Cendana berada di seberang rumah Mashuri di Jalan Agus Salim juga.
Dia selalu meminta agar cerita Tommy Soeharto terkena tumpahan kuah panas sayur sop dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto sehingga menyelamatkan Soeharto dari skenario penculikan bersama petinggi-petinggi TNI-AD lainnya terus diingat sejarah.
Mashuri yang sempat juga menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1968–1973) selalu cerita soal Soeharto yang lolos dari penculikan. Menurutnya ini janggal. Ia juga selalu cerita soal kaitan tokoh sentral Biro Chusus PKI Sjam Kamaruzzaman dengan Soeharto.
Sjam yang dalam sejarah versi Orde Baru digambarkan sebagai salah satu otak pemberontakkan PKI, selama revolusi 1945 aktif dalam Kelompok Pathuk, Jogyakarta bersama Soeharto.
Sjam bekerja sebagai mata-mata Angkatan Darat yang bekerja untuk Soeharto. Dalam Peristiwa Madiun 1948, Sjam lolos dari pembersihan anti PKI padahal dia berada di kubu Amir Syarifuddin yang dianggap gembong PKI Madiun (Sindonews.com, 23 Oktober 2015).
Sjam menjadi tokoh terakhir PKI yang dieksekusi mati pada 1986. Tak ada yang tahu di mana jenazah Sjam dikuburkan.
Para tahanan politik yang konon pernah bersama dalam penjara yang sama dengan Sjam juga tidak tahu keberadaan makam itu.
Sjam tetap menjadi tokoh misterius karena dianggap menjerumuskan PKI dalam pusaran Peristiwa 1965 dan menjadi pemancing konflik internal di TNI AD.
Peristiwa 1965 menjadi titik awal kehancuran PKI dan kejatuhan Soekarno. Peristiwa 1965 pun menjadi titik awal kekuasaan Soeharto dan masuknya investasi asing terutama Amerika Serikat melalui Freeport di Papua.
Keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi pintu masuk sekaligus bentangan karpet merah investasi asing.
Kekritisan membaca sejarah sebaiknya kita tanamkan kepada anak, cucu, cicit serta keturunan kita nanti. Sejarah tidak mengandung kebenaran mutlak. Ia harus tetap menjadi sesuatu yang terbuka untuk direvisi demi sempurnanya fakta demi fakta.
Winston Churchill pernah berujar, ”History has been written by the victors". Sejarah kerap ditulis oleh para pemenang.
Brigjen Nugroho Notosusanto yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, Rektor UI, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru, begitu piawai menulis sejarah di sekitaran Peristiwa 1965 termasuk mengedit film Pengkhianatan G30S/PKI. Sejarah-sejarah yang ditulis penuh dengan kemenangan Soeharto.
Sesungguhnya kita malu pada bangsa-bangsa lain di luar sana. Mereka tengah sibuk mengekplorasi ruang angkasa termasuk mempersiapkan diri untuk pergi ke Mars. Sementara, kita masih ribut soal patung.
Bangsa Lain Bersiap ke Mars, Kita Masih Ribut soal Patung - Kompas.com - KOMPAS.com
Read More
No comments:
Post a Comment