Rechercher dans ce blog

Tuesday, September 7, 2021

Pemerintah Masih Setengah Hati Beralih ke Energi Hijau - Koran Jakarta

» Peralihan ke EBT harus dimulai dari sekarang dengan meningkatkan porsinya untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.

» Selagi RUPTL masih berupa draf, sebaiknya Kementerian ESDM melakukan sinkronisasi.

JAKARTA - Pemerintah dinilai belum konsisten dalam mengurangi emisi gas karbon. Dari berbagai pernyataan yang kerap dilontarkan tidak sejalan dengan langkah konkret yang dituangkan dalam berbagai kebijakan.

Dalam konsep Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030 misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan menambah pasokan listrik hingga 40,9 gigawatt atau sekitar 4 gigawatt per tahun.

Dari target tersebut, sumber pembangkit yang dibangun masih berimbang antara PLTU yang berbasis energi fosil seperti batu bara dengan porsi 15,9 gigawatt atau 39,1 persen. Sementara porsi energi baru terbarukan (EBT) secara keseluruhan sekitar 39,5 persen yang terdiri dari pembangkit listrik tenaga air dan minihidro mencapai 8,9 gigawat atau 22 persen dan pembangkit listrik tenaga panas bumi 3,5 gigawatt atau 8,5 persen. Porsi EBT lainnya sebesar 3,7 gigawatt atau 9,0 persen berupa pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik tenaga bayu, pembangkit listrik tenaga sampah, dan lainnya.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Munawar Ismail, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Selasa (7/9), mengatakan pemerintah perlu lebih serius mengurangi emisi gas karbon dengan meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan EBT karena dalam jangka panjang lebih menguntungkan.

"Pemerintah perlu berpikir untuk jangka panjang karena batu bara dan energi fosil lainnya itu akan segera habis. Secara ekonomi, penggunaan EBT jelas lebih menguntungkan karena kita punya persedian sinar matahari sepanjang tahun, tidak seperti negara-negara Eropa yang musimnya berbeda. Belum lagi gunung api kita yang bisa dijadikan geothermal," kata Munawar.

Menurut dia, investasi solar cell di awal memang lebih besar, namun lebih menguntungkan untuk jangka panjang. Apalagi dengan kemajuan teknologi semakin lama, tentu akan semakin murah. "Peralihan ke EBT harus dimulai dari sekarang dengan meningkatkan porsinya untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat," katanya.

Secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, menegaskan dari draf ini terlihat pemerintah masih setengah hati. Banyak kebijakan yang masih belum satu komando, bahkan porsi batu bara masih dominan sampai tahun 2030, padahal negara lain sudah mulai meninggalkan batu bara dan berakselerasi ke EBT.

EBT, jelasnya, dari dulu dibuat stigma seolah-olah biayanya mahal, padahal sebenarnya tidak demikian, apalagi energi hidro. Sumber air di Indonesia sangat melimpah dengan iklim tropisnya, begitu juga energi surya yang cocok untuk daerah-daerah, khususnya di luar Jawa.

"Mestinya ini menjadi alasan untuk mendorong porsi EBT itu menjadi lebih besar. Mestinya 70 persen itu dari EBT. Dulu sih mahal, tetapi sekarang makin lama makin ekonomis. Harga untuk panel surya, alat-alat untuk tenaga angin sudah masuk dalam keekonomian," tegasnya.

Konversi energi, kata Bhima, semestinya menjadi peluang sehingga harusnya didorong, dan di sisi lain meningkatkan pajak karbon pada sektor-sektor yang masih menggunakan bahan bakar fosil. Dari hasil pajak karbon itu bisa digunakan untuk menyubsidi EBT.

"Sepertinya pemerintah masih dalam pengaruh perusahaan-perusahaan sektor pertambangan batu bara dan migas, sehingga Indonesia belum berani untuk melangkah lebih jauh di sektor EBT ini," kata Bhima.

Kondisi tersebut patut disesalkan karena Indonesia masih jauh dari komitmen global, padahal akan menjadi tuan rumah forum G20 yang akan mengusung isu sustainable development.

Selagi RUPTL masih dalam bentuk draf, sebaiknya pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, melakukan sinkronisasi lagi.

Belum Memadai

Sementara itu, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan kendati sudah ada revisi RUPTL, target penambahan kapasitas EBT 2021-2025 belum memadai untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan untuk energi primer.

Dia berharap agar perubahan aturan PLTS Atap akan menarik minat masyarakat untuk mencapai target 23 persen EBT pada 2025. Dalam kondisi PLN yang mengalami over capacity, PLTS Atap adalah win-win solution untuk menambah kapasitas EBT tanpa membebani keuangan PLN secara berlebihan.


Redaktur : Vitto Budi

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Adblock test (Why?)


Pemerintah Masih Setengah Hati Beralih ke Energi Hijau - Koran Jakarta
Read More

No comments:

Post a Comment

Problema Rangkap Dilema! Andis DOS Setuju Nitro Cuman Dikelas FFA, yang Lain Gimana Nih ? - Otoinfo.id

Otoinfo- Pada musim balap dragbike 2023, Pro dan Kontra penggunaan bahan bakar ‘Nitro’ begitu santer dibicarakan. Beberapa mekanik ju...