KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah penghuni indeks LQ45 menunjukkan performa yang seret sepanjang tahun ini. Beberapa saham bahkan menjadi laggard (pemberat) IHSG sejak awal tahun.
Saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) misalnya, terkoreksi 40,1% sejak awal tahun atau secara year-to-date. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, saham UNVR menjadi yang paling laggard secara ytd. Kemudian, ada saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dengan koreksi hingga 30,2%, saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan koreksi 10,3%, dan PT Astra International Tbk (ASII).
Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga menurun 10,3%, saham United Tractors Tbk (UNTR) yang terkoreksi 27,4%, dan saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang terkoreksi 21,9% sejak awal tahun.
Kepala Riset Henan Putihrai Sekuritas Robertus Yanuar Hardy memproyeksikan, sampai dengan bulan Oktober 2021, saham-saham dengan kapitalisasi besar (big caps) seperti saham perbankan, ASII, dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) masih akan menjadi sasaran jual para manajer investasi.
Baca Juga: Ini penyebab saham perbankan big caps masih lesu sejak awal tahun
“Aksi ini untuk persiapan dana kas dalam menyambut sistem pembobotan IHSG yang baru, dan IPO GOTO yang diperkirakan dapat menjadi salah satu index mover,” terang Robertus kepada Kontan.co.id, Senin (2/8).
Sementara itu, pelemahan sejumlah saham consumer kelas kakap seperti UNVR, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) tidak terlepas dari sentimen yang menggelayuti, yakni adanya kenaikan dari harga komoditas seperti minyak sawit mentah atau CPO dan minyak mentah yang menjadi salah satu bahan baku beberapa produk.
Analis Erdikha Elit Sekuritas Regina Fawziah menyebut, kenaikan harga bahan baku dikhawatirkan akan meningkatkan beban pokok penjualan atau cost of good sold (COGS). Komponen bahan baku berkontribusi cukup besar. Dia mencontohkan CPO dan minyak mentah menyumbang 83% dari beban pokok penjualan UNVR.
Baca Juga: IHSG menguat 0,44% ke 6.096 pada Senin (2/8)
Hal ini membuat para pelaku pasar khawatir akan terpangkasnya margin dari beberapa emiten tersebut. Selain faktor meningkatnya harga bahan baku, emiten consumer goods juga dihadapkan dengan persaingan bisnis antarperusahaan sejenisnya yang cukup ketat, terutama dalam mempertahankan pangsa pasarnya.
Lebih lanjut, saat ini investor lebih cenderung melihat momentum ketika ingin melakukan pembelian saham. Misal, saat ada kabar mengenai digitalisasi bank-bank mini. Kemudian ketika terjadi lonjakan kasus Covid-19 dimana pelayanan kesehatan dan obat-obatan sangat dibutuhkan.
Hal ini membuat investor memburu beberapa saham-saham farmasi serta sejenisnya yang seperti PT Phapros Tbk (PEHA), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), dan PT Indofarma Tbk (INAF).
Saham PT Aneka Gas Industri Tbk (AGII) hingga saat ini juga masih menjadi salah satu emiten yang menarik investor untuk melakukan akumulasi beli karena kebutuhan akan gas oksigen yang masih meningkat akibat lonjakan kasus Covid-19 saat ini. Begitu juga dengan beberapa saham-saham rumah sakit yang secara jangka panjang tren nya masih cenderung meningkat.
Baca Juga: IHSG menguat 0,44% pada Senin (2/8), asing jual saham BBCA, BBRI, dan BMRI
“Saat ini investor lebih mencari emiten-emiten yang dapat memberikan pertumbuhan return yang cepat dengan momentum yang tepat,” terang Regina kepada Kontan.co.id, Senin (2/8).
Robertus menilai, saham BBNI dan PT Bank Tabungan Negara (BBTN) menjadi dua di antara saham penghuni Indeks LQ45 yang saat ini sudah turun dalam dan nilainya sudah di bawah book value.
Baca Juga: Indeks LQ45 turun 11,96% sejak awal tahun, SMC Composite justru naik 14,41%
Sementara Regina menilai, dalam jangka panjang para investor bisa memanfaatkan penurunan dari harga saham emiten LQ45 sebagai momentum beli atau cicil beli. Sebab, harganya yang sebenarnya relatif murah jika dilihat berdasarkan price to earning (PE) ataupun price to book value (PBV) yang masih cenderung berada di bawah rata-rata.
Meksipun secara teknikal beberapa saham tersebut masih dalam fase downtrend bahkan belum ada tanda-tanda teknikal rebound, potensi pembalikan arah tetap ada. Prospek kinerja juga cukup baik, terutama untuk saham-saham berbasis komoditas seperti batubara, timah, nikel serta CPO. Kenaikan harga komoditas yang cukup tinggi berpotensi mendorong kenaikan harga saham emitennya juga.
Dus, Regina merekomendasikan investor untuk mencermati saham-saham berbasis komoditas timah dan nikel seperti PT Timah Tbk (TINS) dengan level resistance Rp 1.770–Rp 1.870 dan level support Rp 1.650. Sementara saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan level resistance Rp 2.770-Rp 2.845 dan level support Rp 2.500.
Di sektor tambang batubara, Regina merekomendasikan saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan level resistance Rp 2.230-Rp 2.300 dan level support Rp 2.090, serta saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dengan level resistance Rp 1.280–Rp 1.300 dan level support Rp 1.240 per saham.
Baca Juga: Saham Lapis Dua Jadi Pencetak Kenaikan Harga Tertinggi di Juli
Sementara Robertus mempertahankan rekomendasi beli untuk saham BBCA dengan target harga Rp 37.500 dan beli saham BMRI dengan target harga Rp 7.350.
Robertus juga merkomendasikan beli saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) dengan target harga Rp 1.080. Saham BRPT diperdagangkan pada valuasi yang cukup murah, hanya 8,0/7,4 kali dari rasio enterprise value (EV)/EBITDA 21F/22F-nya, dibandingkan dengan perusahaan petrokimia/geothermal global lainnya yang saat ini diperdagangkan pada rata-rata 10,8/10,3 kali dari rasio EV/EBITDA-nya.
Baca Juga: Saham kelas kakap jeblok, bursa digerakkan saham-saham small-mid caps
Sejumlah saham penghuni Indeks LQ45 masih laggard, begini prospek selanjutnya - Kontan
Read More
No comments:
Post a Comment