KOMPAS.com - Kasus yang melibatkan pinjaman online (pinjol) masih terus terjadi sampai saat ini.
Akibatnya, peminjam pun harus menanggung utang berlipat-lipat ganda dan sering mendapat teror dari debt collector.
Salah satu kisah memilukan itu dialami oleh Afifah Muflihati (27), seorang guru honorer di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Baca juga: INFOGRAFIK: Cara Melaporkan Pinjol Ilegal
Afifah mulanya hanya meminjam Rp 3,7 juta, namun utang itu membengkak menjadi Rp 206,3 juta jika ditotal.
Alih-alih mendapat pinjaman Rp 5 juta seperti yang dijanjikan, uang yang ditransfer ke rekening Afifah hanya sebesar Rp 3,7 juta.
Belum sempat menggunakan uang pinjaman, teror pun mulai berdatangan, dengan data diri yang sudah disebar.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Baca juga: Deretan Kasus Penipuan Berkedok Investasi, dari MeMiles hingga Swissindo
Lantas, mengapa masih banyak orang tergiur dengan pinjol meski berisiko tinggi?
Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, ada tiga alasan mengapa pinjol masih banyak dilirik.
Pertama, adanya gap antara pengetahuan masyarakat dengan era disrupsi 4.0.
"Ini kan mengalami disrupsi karena adanya revolusi 4.0, di mana sekarang pinjaman itu dikerjakan melalui online," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (21/8/2021).
Baca juga: Waspada Penipuan Minta Kode OTP Atasnamakan Shopee, Ini Penjelasannya
Terlebih, pinjol bisa diakses dengan mudah, tanpa pertemuan, dan syarat yang tidak rumit.
Adanya gap pengetahuan ini juga membuat para peminjam tidak mengetahui risiko yang diakibatkan oleh pinjol tersebut.
"Orang-orang tidak cukup faham dengan bank online, cara kerjanya bagaimana, nagihnya bagaimana, ngitungnya. Pokoknya dengan akses yang mudah mereka pinjam," ujarnya.
Baca juga: Hati-hati Penipuan, Jangan Berikan Kode OTP kepada Siapa Pun!
Dirasa lebih mudah
Kedua, Drajat menilai krisis ekonomi merupakan alasan lain di balik maraknya akses pinjaman online.
"Ini sebuah tanda krisis ekonomi yang menunjukkan bahwa secara ekonomi masyarakat itu kesulitan, kemudian mereka mencoba melakukan akses kepada sumber-sumber pembiayaan untuk membantu mereka," jelas dia.
Dengan kondisi itu, masyarakat banyak memiliki pinjol yang lebih mudah dibandingkan bank konvensional.
Baca juga: INFOGRAFIK: 10 Negara dengan Utang Luar Negeri Tertinggi
Ketiga, kurangnya proteksi dari pemerintah atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap warga yang mengakses pinjol.
"Perlindungan peminjam secara keseluruhan itu belum tersedia, sehingga banyak orang terjerumus ke situ dan kesulitan. Akhirnya penagih-penagih dengan cara online yang ganas itu terjadi," tutupnya.
Baca juga: Demi Masa Depan, Lebih Baik Menabung atau Investasi?
Bermasalah dan Merugikan, Mengapa Masih Banyak Orang yang Akses Pinjol? - Kompas.com - KOMPAS.com
Read More
No comments:
Post a Comment