KOMPAS.com – Pada kondisi normal, Indonesia sudah memasuki musim kemarau pada Juni. Akan tetapi, fakta di lapangan, sejauh ini di sejumlah daerah, hujan dengan intensitas tinggi masih turun di sejumlah daerah.
Bahkan di sejumlah daerah terpantau mengalami banjir.
Semisal, pemukiman warga di kawasan Kebon Pala, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur, banjir di Kecamatan Bojongsoang, Dayeuhkolot, dan Baleendah, Kabupaten Bandung, serta sejumlah wilayah lainnya.
Baca juga: Mengenal Petrichor, Aroma yang Ditimbulkan Saat Hujan Turun
Lantas, apa yang sedang terjadi? Simak penjelasan BMKG dan Lapan berikut:
Penjelasan BMKG
Dikutip dari Kompas.com 21 Juni 2021, Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari mengatakan, hujan turun di Pulau Jawa serta di banyak wilayah Indonesia barat maupun tengah.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Setidaknya terdapat 2 hal yang mendasari terjadinya hujan di Juni ini.
"Data aliran udara lembab menunjukkan bahwa sumber uap air yang menjadi sumber kejadian hujan ini dari Samudera Hindia, dan diduga terkait dengan gejala IOD negatif yang saat ini berkembang di Indian Ocean," kata Supari saat dihubungi Kompas.com, Senin (21/6/2021)
Selain itu, menurutnya terjadi karena adanya gangguan gelombang atmosfer yang terjadi bersamaan.
"Secara bersamaan, sedang terjadi gangguan gelombang atmosfer yaitu equatorial rossby wave yang juga berkontribusi meningkatkan potensi hujan di wilayah Indonesia," kata dia.
Baca juga: Ramai Foto Diduga Meteor Jatuh di Puncak Gunung Merapi, Ini Penjelasan Lapan
Penjelasan Lapan
Sementara itu, Peneliti Klimatologi dari PSTA Lapan Erma Yulihasti mengatakan, hujan yang masih sering terjadi di wilayah barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) sejak awal Juni terjadi akibat pengaruh dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia.
Menurutnya, dinamika ini terlihat dari pembentukan pusat tekanan rendah berupa pusaran angin (vortex) yang ada di selatan ekuator sekitar pesisir barat Sumatera dan Jawa.
Adapun pembentukan vortex ini sangat intensif di Samudera Hindia pada awal juni dan diprediksi bertahan sepanjang periode musim kemarau.
Baca juga: Hujan di Saat Musim Kemarau, Mengapa Bisa Terjadi?
Akibatnya pada Juli-Oktober, maka berpotensi timbul anomali musim kemarau yang cenderung basah.
Potensi anomali musim kemarau ini kemudian semakin diperkuat dengan adanya prediksi pembentukan Dipole Mode negatif di Samudera Hindia.
Fenomena tersebut menurutnya berpotensi menimbulkan fase basah di barat Indonesia.
Baca juga: Video Viral Hujan Lokal Antar-RT, Ini Penjelasan BMKG
Peningkatan dan pendinginan suhu
Dipole Mode ditandai dengan penghangatan suhu permukaan laut di Samudera Hindia dekat Sumatera.
Adapun di wilayah dekat Afrika, mengalami pendinginan suhu permukaan laut.
Kondisi ini mengakibatkan pemusatan aktivitas awan dan hujan yang terjadi di Samudera Hindia sebelah barat Sumatera.
"Sehingga berdampak pada pembentukan hujan yang berkepanjangan selama musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia," kata Erma.
Baca juga: Soal Cek Suhu Tubuh di Tangan, Efektifkah?
Penghangatan suhu permukaan laut sendiri adalah bagian dari feedback respons terhadap kondisi di Samudera Pasifik yang saat ini mengalami La Nina.
Adapun La Nina, menurutnya saat ini semakin melemah dan cenderung menuju netral.
Untuk Dipole Negatif diprediksi hanya akan berlangsung singkat sekitar Juli-Agustus, namun eksistensi vortex dan penghangatan suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia diprediksi akan berlangsung hingga Oktober.
(Sumber: Kompas.com/Jawahir Gustav Rizal, Luthfia Ayu Azanella | Editor Rendika Ferri Kurniawan)
Baca juga: Suhu Dingin, Simak Pesan Dokter agar Tidak Mudah Sakit...
Penjelasan BMKG dan Lapan soal Hujan yang Masih Turun di Musim Kemarau - Kompas.com - KOMPAS.com
Read More
No comments:
Post a Comment