Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dan Amerika Serikat (AS) punya wacana kebijakan fiskal yang mirip yaitu dalam hal menaikkan tarif pajak. Meskipun jenis pajak yang bakal ditingkatkan berbeda, tetapi hal ini menarik untuk dibahas.
Rencana untuk menaikkan pajak memang kontroversial. Apalagi di saat perekonomian masih diliputi risiko resesi seperti sekarang ini. Wacana yang tengah digaungkan oleh Janet Yellen dan Sri Mulyani Indrawati tersebut seperti biasa menuai beragam respons. Ada yang pro, tentu saja ada juga yang kontra.
Pasalnya saat kebijakan moneter kemungkinan masih berada pada stance dovish-nya untuk memulihkan perekonomian, kebijakan fiskal yang seharusnya juga menjadi instrumen untuk mendorong pemulihan lewat countercyclical policy measures justru terlihat berubah haluan lebih dulu.
Padahal dalam berbagai kesempatan, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell masih menunjukkan sikap lunak ketika ditanya seputar arah kebijakan moneter ke depan. Meskipun inflasi mulai meningkat tajam, tingkat pengangguran terus menurun dan dalam rapat komite pengambil kebijakan akhir April lalu rencana tapering sudah mulai diwacanakan, Powell keukeuh menegaskan bahwa ekonomi masih rapuh dan butuh uluran tangan baik dari sisi moneter maupun fiskal.
Sampai di sini sikap The Fed dan pemerintah AS terlihat kontradiktif memang. Hingga artikel ini ditulis, The Fed masih menahan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) di kisaran nol persen.
Program pembelian aset keuangan juga tetap dilanjutkan dengan laju US$ 120 miliar per bulan. Aset The Fed yang tercatat di neraca juga terus menggembung mencapai hampir 35% dari total output perekonomian (PDB) AS.
Kabar cukup mengejutkan ketika Biden menjelaskan proposalnya untuk menaikkan pajak korporasi yang dipangkas besar-besaran era Presiden Trump. Sebelum mantan taipan properti AS itu menjabat, pajak korporasi di AS 35%. Kemudian oleh Trump diturunkan menjadi 26%. Kini di tangan Biden rencananya akan dinaikkan ke 28%.
Tujuannya tak lain dan tak bukan untuk membiayai rencana infrastruktur Biden yang ambisius. Selain pajak untuk korporasi, Biden juga berencana untuk menaikkan pajak penghasilan terutama bagi mereka top 1% masyarakat kaya AS serta pengenaan pajak capital gain bagi mereka dengan pendapatan lebih dari US$ 1 juta.
Rencana yang kedua bertujuan guna membiayai anggaran pendidikan, perlindungan anak serta hal lain. Total uang yang ditargetkan terkumpul melalui kebijakan austherity tersebut mencapai hampir US$ 4 triliun atau seperlima dari PDB AS.
Di Indonesia juga sama, belum lama ini sang Menkeu mulai mewacanakan untuk menaikkan pajak. Berbeda dengan AS yang berupaya meningkatkan pajak penghasilan, di dalam negeri targetnya adalah pajak pertambahan nilai (PPN).
Dalihnya adalah PPN Indonesia termasuk yang paling rendah dan sederhana di dunia. Memang benar dengan tingkat PPN 10%, Indonesia menjadi kelompok negara dengan tingkat PPN yang rendah. Namun jika tujuannya hanya karena hal tersebut tentu urgensinya sangat dipertanyakan.
Moneter Masih Longgar, Fiskal Sudah Mau Diketatkan Nih! News - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment